Publik Indonesia terpengarah ketika kubu Jokowi-Ma’ruf Amin memilih Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN). Telah menjadi rahasia umum bahwa dahulu sang bapak, Teddy Thohir, dan kakak laki-lakinya, Boy, berada di kubu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tak hanya itu, Erick bersahabat kental sejak kecil dengan Sandiaga Uno, calon wakil presiden di kubu Prabowo Subianto, dan Muhammad Luthfi, mantan Menteri Perdagangan di era SBY.
Khusus Sandiaga, Erick pernah mengatakan, perbedaan kubu politik di antara keduanya tidak membuat persahabatan mereka retak. Oleh karena itu, ia tak sepakat jika digunakan istilah “bertarung”.
Hal itu disampaikan Erick setelah menghadiri acara pernikahan putra Ketua DPR, Bambang Soesatyo, Sabtu (8/9/2018). Saat akan meninggalkan lokasi acara, Erick berpapasan dengan Sandiaga yang baru tiba di lokasi yang sama. Keduanya berpelukan erat dan saling melempar tawa.
Tak pelak, kondisi ini membuat pro-kontra berhamburan. Sebagian pihak mengatakan bahwa penunjukan Erick adalah strategi untuk melemahkan Sandiaga karena Erick tahu hingga hal-hal terkecil Sandi, panggilan akrabnya. Pihak yang lain berpendapat, penunjukan Erick adalah buah strategi jitu SBY.
Mantan Presiden ke-6 Indonesia itu berhasil menempatkan dirinya pada dua pihak yang berseberangan. Jikapun salah satu pihak menang, tetap saja SBY dan kubu politiknya akan punya kaki di Istana dan ikut menentukan arah pemerintahan.
Apakah dugaan seperti itu mungkin? Kenapa tidak? Sebelumnya publik Indonesia telah mendapatkan berbagai rumor tentang Erick. Terutama ketika dirinya mampu membeli klub elite sepak bola Italia, yakni Inter Milan. Kala itu Presiden Direktur Inter adalah Massimo Moratti, taipan besar asal Negeri Pizza dengan portofolio usaha di bidang minyak dan gas, serta manufaktur.
Kala itu, berembus kabar bahwa di belakang Erick ada nama Presiden SBY sehingga Moratti sebagai pebisnis “kelas paus” di Italia menjadi teryakinkan dan bersedia menjual klub dengan sejarah dan prestasi luar biasa ke tangan pengusaha muda dari negeri jauh di timur. Sebagaimana diketahui, Moratti juga menjual sahamnya dengan harga premium, yakni 350 juta euro atau senilai Rp 5,3 triliun pada saat itu.
Pihak Erick menolak untuk mengomentari lebih jauh terkait isu ini. Melalui media afiliasinya, Erick dikabarkan memperoleh uang untuk membeli klub Italia itu dari industri media raksasa yang dimilikinya. Pengusaha lulusan National University, California ini diketahui memiliki stasiun televisi, radio, serta surat kabar cetak dan online.
Sementara itu, pihak yang menilai Erick dari sisi profesionalisme cenderung melihat keberhasilan sebagai ketua Inasgoc yang menyelenggarakan Asian Games 2018 yang berakhir sukses. Kemampuan manajemen seorang Erick Thohir serta latar belakangya yang bukan berasal dari partai dianggap akan mampu mengakomodasi kepentingan partai koalisi dalam pemenangan Jokowi-Ma’ruf nanti.
Apalagi, jabatan ketua tim sukses ini sangat strategis dan menjadi incaran banyak partai, karena itu juga nanti akan ada politik balas budinya. Erick yang bukan siapa-siapa akan berujung pada politik balas budi yang tak bakal memberatkan Jokowi di masa depan.
Posisi Erick yang merupakan pengusaha media nan berhasil, dipersepsikan bakal lebih all out dan tak bisa ditekan karena punya kekuatan finansial yang akan dimanfaatkan untuk keperluan pemenangan. Tak ketinggalan, penggunaan kekuatan jaringan media yang dimilikinya sebagai senjata ampuh.
Asal Usul Keluarga Kaya
Erick Thohir memang bukan orang sembarangan. Paling tidak ia dan keluarganya terkenal super kaya. Kakak laki-lakinya Garibaldi Thohir diketahui memiliki pendapatan senilai 1 miliar euro. Garibaldi, yang akrab dipanggil Boy, adalah bos dari salah satu perusahaan tambang besar di Indonesia Adaro. Ayahnya merupakan salah satu pendiri dan pemilik raksasa bisnis otomotif, Astra International.
Pundi kekayaan Erick berasal dari sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang industri media. Erick mengelola majalah, surat kabar, stasiun televisi, dan radio, juga sejumlah situs periklanan, penjualan tiket dan situs-situs hiburan yang bersifat komersial. Mahaka Group yang dipimpinnya membangun Radio One Jakarta pada 1999 dan membeli Harian Republika pada 2000.
Tak hanya itu, lewat Mahaka Group, pengusaha kelahiran Jakarta tersebut membeli Harian Indonesia yang diterbitkan ulang sebagai Sin Chew Indonesia. Surat kabar tersebut dikelola Sin Chew Media Corporation Berhad yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia.
Hingga 2009, Grup Mahaka telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Ditambah JakTV, stasiun radio GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan Female Radio. Kekayaan Erick semakin bertambah ketika didapuk menjadi Presiden Direktur dari kelompok bisnis Bakrie, Viva Group yang didirikannya bersama Anindya Bakrie. Keduanya sempat gagal membangun Lativi yang dibeli pada 2008.
Pada 2002, Erick mendaftarkan Mahaka Media di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hanya dalam waktu setengah tahun, Mahaka Media memperoleh pendapatan hingga Rp 137 miliar. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya dengan pendapatan Rp 113 miliar.
Langkah serupa dilakukan Erick dengan mendaftarkan Viva Group di BEI pada November 2011 dengan harga penawaran perdana Rp 450 per lembar saham. Pada pertengahan September tahun berikutnya, harga saham perusahaan tersebut naik menjadi Rp 590 per lembar atau sebesar 30%. Pada pertengahan 2012, pendapatan perusahaan tersebut mencapai Rp 546 miliar, naik dari Rp 464 miliar tahun sebelumnya.