Walaupun masih tampak percaya diri, pemerintah terlihat kian kehabisan akal. Terutama dalam menangani nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah. Pukulan bertubi-tubi faktor eksternal membuat mata uang garuda terjerembab hingga menyentuh 14.840 terhadap dolar AS. Ini merupakan posisi terendah rupiah terhadap dolar sejak Juli 1998, setelah krisis keuangan melanda Asia.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira, menilai bahwa pelemahan rupiah sudah di luar fundamentalnya. Efek yang paling terasa adalah berkaitan dengan pembayaran kewajiban jatuh tempo utang. Menurut Bima, berdasarkan data SULNI BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 mencapai US$ 9,1 miliar, terbagi US$ 5,2 miliar pokok dan US$ 3,8 miliar bunga.
Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN, pemerintah wajib membayar Rp 121,9 triliun. Sementara dengan kurs di kisaran 14.700 seperti sekarang, beban pembayaran menjadi Rp 133,7 triliun.
Yang menarik, menurut Direktur Eksekutif Economic Action (Econact) Indonesia, Ronny P. Sasmita, nilai tukar rupiah saat ini tidak lagi dipengaruhi murni faktor global, melainkan juga kombinasi dengan di dalam negeri. “Yang harus dilakukan pemerintah adalah fokus pada penguatan rupiah agar bertahan di harga fundamentalnya. Ya, fundamentalnya di kisaran 14.500 per dolar AS menurut saya,” ujar Ronny.
Pengaruh pelemahan rupiah memang telah menjalar ke mana-mana. Paling kentara adalah pukulan telak yang menimpa Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengumumkan kerugian lebih dari Rp 5 triliun akibat rugi kurs. Padahal secara operasi, perusahaan listrik pemerintah itu membukukan penjualan listrik yang tumbuh di atas 5%.
Lebih makro lagi, pukulan pelemahan rupiah juga mulai menghantui anggaran negara. Walaupun begitu, Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan bahwa Indonesia masih jauh dari kata bangkrut meskipun nominal utangnya tembus Rp 4.034,8 triliun.
Suminto menyebutkan, utang pemerintah yang mencapai Rp 4.034,8 triliun itu masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Saat ini rasio utang Indonesia berada di level 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB), sedangkan batasnya ditetapkan sebesar 60% dari PDB.
Sementara itu, bos Suminto, yakni Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut bahwa jumlah utang jatuh tempo pada 2019 mencapai Rp 409 triliun. Ia mengakui, angka itu cukup tinggi bagi dompet negara. Bagaimana dengan tahun ini? Ternyata memang “lebih rendah” 6,51%, yaitu sekitar Rp 384 triliun.
Kendati demikian, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan menjaga rasio utang terhadap PDB di bawah 30%. Dirinya bahkan berencana membuat rasio utang terhadap PDB di bawah 29,8%.
Sri Mulyani melanjutkan, turunnya pembiayaan utang ini dilakukan atas pertimbangan tingkat defisit yang juga menurun dalam RAPBN 2019. Defisit pada RAPBN 2019 mengecil menjadi Rp 297,2 triliun atau 1,84% terhadap PDB, sedangkan defisit pada APBN 2018 mencapai 2,12% terhadap PDB.
Keyakninan wanita yang akrab dipanggil SMI ini memang bukan tanpa dasar. Di tengah turbulensi rupiah, sebersit keyakinan muncul. Menurut Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Inarno Djayadi, saat rupiah melemah, justru terjadi masuknya dana asing (capital inflow) ke pasar saham maupun obligasi.
Mengutip data RTI, selama sepekan total dana asing yang masuk ke seluruh pasar sebesar Rp 1,39 triliun. Angka itu terdiri atas arus masuk di pasar reguler sebesar Rp 1,96 triliun, meskipun di pasar tunai dan negosiasi terjadi outflow sebesar Rp 569 miliar.
“Kalau dari sisi kita sebetulnya tentunya harus kemarin keluar karena rupiah melemah, tetapi bisa dilihat pelemahan rupiah awalnya bukan dari saham atau obligasi atau pasar modal tapi ke arah eksternal,” tuturnya. Meski begitu, Inarno menilai kondisi nilai tukar rupiah masih dalam batas aman di tengah gejolak perekonomian global.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Soepriyatno, ketika diwawancara republika.co.id meminta agar pemerintah terus melakukan antisipasi dalam menghadapi penguatan dolar terhadap rupiah, terutama terkait pengurangan impor. Menurutnya, impor Indonesia sudah terlampau tinggi, terutama untuk komoditas pangan seperti gula dan beras.
Soepriyatno menjelaskan, pada tahun politik, impor kemungkinan bisa semakin tinggi untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dampaknya, defisit neraca perdagangan akan semakin tidak terkendali.
Sembari menekan impor, pemerintah juga harus terus menggenjot ekspor. Pengiriman komoditi ke luar negeri akan mampu meningkatkan devisa yang disebutkan Soepriyatno sudah tergerus banyak oleh Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Poin berikut yang ditekankan Soepriyatno adalah utang. Ia menilai, beberapa BUMN terlalu banyak berutang ke luar negeri dalam bentuk dolar AS untuk membangun infrastruktur yang berlebihan.
Kekhawatiran anggota DPR tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, salah satu impor tertinggi Indonesia adalah impor BBM dan minyak mentah. Namun, pengumuman kurang menggembirakan datang dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Lembaga ini mencatat realisasi produksi minyak dan gas (lifting migas) pada semester I/2018 masih di bawah asumsi APBN 2018.
Berdasarkan data yang dimiliki SKK Migas, hingga semester I/2018 realisasi lifting migas secara keseluruhan adalah 1.923 BOEPD. Masing-masing 771 ribu BOPD untuk minyak dan 1.152 BOEPD untuk gas. Padahal, menurut klaim SKK Migas, tahun ini pemerintah punya tujuan 2 juta barel equivalen dengan 800 ribu merupakan minyak, sisanya 1.200 ribu adalah gas.
Dengan penurunan lifting migas nasional inilah kekhawatiran kian meningginya impor BBM menyeruak. Jika ini benar terjadi, sudah bisa dipastikan neraca dagang nasional akan mengalami guncangan defisit yang lumayan. Sebuah kondisi yang juga akan memukul nilai tukar rupiah pada akhirnya.