Prahara kembali menimpa Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Setelah kasus Garuda Indonesia, kini perusahaan minyak dan gas negara PT Pertamina (Persero) mengalami riak yang tak ringan.
Adalah surat dari Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengizinkan Pertamina melepas atau menjual aset perusahaan yang bertujuan untuk menyehatkan keuangan. Surat tersebut merupakan balasan dari surat yang dilayangkan Direksi Pertamina (Persero) Nomor 253/C00000/2018-S4 pada 6 Juni 2018, perihal permohonan izin prinsip aksi korporasi untuk mempertahankan kondisi kesehatan keuangan dan surat No. 239/000000/2018-S4 pada 28 Mei 2018, perihal kondisi keuangan Pertamina per April 2018.
Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa Rini secara prinsip menyetujui rencana Direksi Pertamina mengambil tindakan dalam rangka menyelamatkan kondisi keuangan, termasuk memberi izin melepas aset hulu Pertamina. Namun, serangkaian tindakan ini harus tetap menjaga aset dan memperoleh nilai strategis, seperti akses hulu di negara lain. Untuk mempercepat peremajaan kilang Cilacap dan Balikpapan, Rini juga mengizinkan Pertamina melakukan Spin-Off Unit Bisnis RU IV Cilacap dan Unit Bisnis RU V Balikpapan ke anak perusahaan dan potensi farm-in mitra yang sejalan dengan Refinery Development Master Plan (RDMP).
Secara sekilas, aksi ini wajar saja. Pertamina sebagai sebuah perusahaan modern berusaha mencari tambahan modal dengan menjaminkan aset-aset yang dimiliki. Namun, imbas dari surat ini begitu mencengangkan. Sekitar seribu pekerja yang tergabung dalam FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) menggelar aksi demo di Kantor Pusat Pertamina, Jumat (20/7/2018). Para pekerja kompak mengenakan baju putih dan celana hitam, lengkap dengan pita hitam di tangan kanan dan ikat kepala berwarna merah dan putih bertuliskan “Save Pertamina”.
Jika disarikan, protes itu adalah sebuah bentuk kekhawatiran para pekerja Pertamina terhadap masa depan tempat mereka mencari nafkah. Dengan kondisi harga minyak global yang tengah menggeliat seperti sekarang ini, seharusnya Pertamina bisa membukukan keuntungan besar.
Bayangkan, asumsi APBN 2018 untuk harga minyak hanya US$ 48 per barel, sedangkan harga rata-rata minyak Indonesia hingga semester 1-2018 mencapai lebih dari US$ 65 per barel. Bukankah kondisi ini produktif bagi daya investasi dan ungkit perusahaan? Faktanya, Pertamina justru dibebani hal-hal yang menurut banyak kalangan jauh dari praktik manajemen yang kredibel.
Kekhawatiran itu tercermin dari agenda yang dibawa dalam protes Serikat Pekerja. Sedikitnya ada sembilan poin yang dibawa peserta aksi untuk menjadi perhatian para pejabat yang menaungi Pertamina.
Pertama, naiknya harga ICP melebihi pagu APBN yang menyebabkan nilai investasi RDMP tidak menguntungkan. Kedua, peningkatan impor crude dan nominal pembayaran utang akibat melemahnya rupiah.
Ketiga, kebijakan BBM Satu Harga yang menyebabkan seluruh disparitas harga menjadi beban Pertamina. Ditambah melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM seluruh konsekuensi biaya, mulai dari transportasi sampai margin fee bagi penyalur di lokasi, sepenuhnya ditanggung Pertamina tanpa dibantu APBN.
Keempat, tuntutan untuk merevisi Perpres No. 191/2014 tentang Penyaluran Premium di Jawa, Madura, Bali, yang menyebabkan Pertamina harus melakukan penambahan kuota premium (nonsubsidi) dari 5 juta kl menjadi 12,5 juta kl sehingga kerugian semakin membesar.
Kelima,erevisi Permen ESDM No.21/2018 tentang Harga BBM Khusus Diatur Pemerintah, yang menyebabkan beban keuangan Pertamina semakin besar karena penjualan produk Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex diatur sepenuhnya oleh pemerintah.
Keenam, revisi SK Menteri BUMN No. 39/2018 (perubahan nomenklatur direksi Pertamina berupa hilangnya direktorat gas dan pemekaran direktorat pemasaran yang kontraproduktif bagi bisnis Pertamina) berakibat terjadi inflasi jabatan dan membuat semakin tingginya biaya overhead organisasi. Kondisi ini membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan.
Ketujuh, revisi Permen ESDM No. 23/2018 terkait pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir kontrak kerja samanya diprioritaskan kepada operator existing). Blok Rokan Riau (Chevron) kapasitas 220.000 BOPD akan berakhir pada 2021.
Kedelapan, membatalkan PP No. 06/2018 tentang Pengalihan Saham Pemerintah di PGN kepada Pertamina. Penyertaan modal negara ke dalam modal saham perusahaan perseroan haruslah melalui persetujuan DPR, seperti tertuang dalam UU No. 17/2003 Pasal 24 bahwa penyertaan modal harus terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
Kesembilan, mencabut kebijakan integrasi atau saham Pertagas diakuisisi PGN. Aksi korporasi ini akan menyebabkan laba Pertagas yang 100% milik Pertamina terkonsolidasi dengan laba PGN yang 43% sahamnya milik publik. Keuntungan Pertagas sebagian akan jatuh ke tangan publik, bukan negara. Integrasi dilakukan pemerintah melalui direksi Pertamina tanpa kajian yang prudent dan cenderung memperkaya oknum pemburu rente yang bersembunyi di balik saham kepemilikan publik di PGN.
Setelah sekian lama diam, Menteri Rini buka suara akhirnya buka suara. Kepada media, Rini menjelaskan bahwa Pertamina adalah korporasi yang memiliki banyak aset. “Seperti yang saya sampaikan di surat itu, bahwa kami memberikan fleksibilitas kepada direksi Pertamina untuk melihat, untuk mungkin bisa menurunkan kepemilikannya,” kata Rini, Kamis (19/7/2018).
Tujuan persetujuan prinsip itu, kata Rini, salah satunya adalah untuk kepentingan memperkuat neraca keuangan Pertamina. “Dan itu ditekankan betul bahwa kontrolnya tetap harus ada di Pertamina,” ujarnya. Proses penjualan aset pun harus melalui good governance dan transparan. “Itu aksi korporasi biasa, kalau korporasi tidak boleh jual beli ‘kan aneh.”
Yang menjadi pertanyaan publik, mengapa harus melakukan aksi-aksi korporasi seperti itu, terutama pada saat kondisi harga minyak global tengah bangkit? Apakah kondisi Pertamina begitu rentan?
Direktur Keuangan Pertamina, Arif Budiman, mengakui bahwa saat ini memang ada tekanan finansial di perseroan. “Kalau saya bilang nggak ada tekanan, tentu saya salah, tekanan finansial ada,” ujar Arif saat berdiskusi di Kantor Tempo, Selasa, 24 Juli 2018.
Walau mengakui ada tekanan finansial di perseroan, Arif memastikan tidak ada program perseroan yang dibatalkan akibat tekanan itu. Contohnya proyek RDMP yang masih jalan. Begitu pula proyek Jawa 1 dan proyek Jambaran Tiung Biru. Ia juga membenarkan bahwa ada penurunan operating expenditure Rp 4 triliun, tetapi tidak sebanding dengan pendapatan perseroan yang sebesar Rp 500-600 triliun.
Arief membantah rumor bahwa perusahaan pelat merah itu terancam bangkrut sebab perseroan masih memiliki working capital facility sebesar US$ 5 miliar. Dengan demikian, secara keuangan, Pertamina tidak bermasalah dan terus berjuang untuk mempertahankan aset-aset yang akan habis izinnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR, Azam Asman Natawijana, pemerintah harus mengecek kondisi keuangan Pertamina yang sebenarnya sebelum memberi penugasan, terutama terkait program BBM Satu Harga. “Jangan BBM Satu Harga itu disebut baik-baik saja. Apa cukup uangnya? Itu bagus, tetapi konsumsi di Papua juga mungkin tidak besar,” katanya kepada Antara.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, wajar jika BUMN seperti Pertamina menanggung penugasan tertentu demi kebutuhan rakyat. Namun, ia menegaskan bahwa BUMN tidak boleh dirugikan oleh beban penugasan karena tidak terkompensasi dengan baik oleh pemerintah. “Tidak bisa kalau tidak ada penugasan karena rakyat membutuhkan. Jadi pemerintah harus memikirkan, jangan beri tugas, tetapi tidak dikasih uangnya,” tuturnya.
Apakah benar keuangan Pertamina menjadi berdarah-darah karena penugasan itu? Sampai sekarang belum ada konfirmasi resmi dengan pihak terkait. Toh, publik juga mengetahui bahwa hingga sekarang Pertamina belum memublikasikan laporan keuangan terbaru. Yang pasti Pertamina pada 2017 mengalami penurunan laba sebesar 19,3 persen dari US$ 3,16 miliar pada 2016, menjadi US$ 2,55 miliar pada 2017.
Penurunan laba disebabkan Pertamina tidak dapat menaikkan harga jual premium dan sSolar di tengah meroketnya harga minyak dunia yang mencapai US$ 74,1 per barel. Dalam waktu hampir bersamaan, kurs rupiah cenderung melemah sehingga berpotensi memperbesar biaya operasional, terutama biaya impor BBM.
Apakah Pertamina akan sanggup bertahan? Hanya waktu yang bisa membuktikan.