Tekanan, logistik yang sulit, dan banyaknya tuntutan, telah membuat para penyelamat di tim penanggulangan bencana menjadi pahlawan dengan ciri khas pakaian oranye mereka. Indonesia telah dilanda bencana tanpa henti baru-baru ini. Mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga pesawat jatuh, para pahlawan inilah yang tanpa kenal lelah berusaha menyelamatkan para korban, hidup atau mati.
Retno Budiharto seolah tengah menjalin hubungan yang sangat dekat dengan orang mati.
Sejak Juni, veteran badan pencarian dan penyelamatan (SAR) Indonesia tersebut telah menggali mayat di gedung yang hancur akibat gempa bumi, dan di antara reruntuhan yang basah setelah tsunami. Dan ketika kapalnya tergelincir dalam lumpur minyak licin yang dipenuhi puing pesawat terbang pada akhir Oktober lalu, dia tahu dia akan kembali mencari mayat alih-alih korban selamat.
Bulan-bulan terakhir di Indonesia—saat bencana hampir tanpa henti terjadi—telah menjadi ujian besar bagi Retno dan yang lainnya di Badan SAR Nasional (Basarnas). Ini juga menyoroti ambisi negara tersebut untuk menanggapi banyak krisis tanpa menyerahkan kendali kepada negara-negara asing dan organisasi internasional.
Kadang-kadang, badan penyelamat Indonesia telah berjuang untuk mengimbangi bencana seperti itu di seluruh nusantara. Ada lebih dari 15.000 pulau yang menjadi bagian dari “Cincin Api” Pasifik—area aktivitas tektonik yang sangat rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Namun tekanan, logistik yang sulit, dan tuntutan yang tak kenal lelah, juga telah membuat para penyelamat tersebut menjadi pahlawan rakyat dengan ciri khas pakaian oranye mereka.
Badan ini telah mendapatkan kekaguman dari masyarakat Indonesia sebagai simbol kebanggaan nasional dan kemandirian. Hal ini bahkan membuat juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)—badan tanggap bencana yang lain—menjadi selebriti karena ia terus memberikan perkembangan kepada media, meskipun sedang melakukan perawatan yang berkelanjutan untuk kanker paru-paru stadium empat.