Setelah berjuang untuk lepas dari level psikologis 15.000, rupiah kembali mencatat rekor terburuk dalam 20 tahun. Kamis (4/10/2018), kurs spot rupiah melemah 0,69 persen ke Rp 15.179 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sejalan dengan itu, kurs tengah rupiah di Bank Indonesia (BI) turun 0,29 persen ke Rp 15.133 per dollar AS. Analis lokal memprediksi bahwa rupiah akan bergerak sideways dan cenderung melemah pada kisaran Rp 15.098-15.250 per dolar AS.
Di tengah kekhawatiran tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengeluarkan statemen yang menarik perhatian publik Tanah Air. Menteri Keuangan Terbaik Asia tahun lalu itu menyebut bahwa pemerintah telah berhasil mengelola ekonomi hingga kesejahteraan masyarakat Indonesia cenderung membaik.
Patokannya, menurut wanita yang akrab dipanggil Ani ini, bisa dilihat dari data jumlah pengangguran di Tanah Air yang berhasil turun hingga berada di level 5,15 persen. Angka yang diklaim merupakan yang terendah sejak 20 tahun terakhir.
Selain pengangguran, Sri Mulyani pun mengklaim bahwa angka kemiskinan pada tahun ini berhasil ditekan pemerintah hingga berada di bawah sepuluh persen, atau tepatnya mencapai 9,8%. Dalam konferensi pers (4/10/2018), Sri Mulyani juga menyebutkan kondisi perbankan masih aman meskipun rupiah telah menembus level Rp 15.000, termasuk indikator Tingkat Kecukupan Modal Minimum (Capital Adequacy Ratio/CAR) dan Net Performing Loan (NPL).
Sementara itu, World Bank alias Bank Dunia malah mengeluarkan prediksi yang membuat siapa pun Menteri Keuangan negara berkembang semakin waswas. Menurut lembaga di mana Sri Mulyani pernah menjabat sebagai salah satu direktur itu, penurunan nilai portfolio di pasar keuangan global mengurangi kapasitas negara dan swasta dalam menerbitkan dan membiayai utang berdenominasi mata uang asing.
Dampaknya, operasional bisnis dan kesanggupan melunasi utang dari sektor korporasi akan terganggu. Sementara dari segi pemerintah, hal itu bisa menyebabkan defisit pendanaan dan keberlanjutan utang.
Dalam laporan World Bank East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2018 berjudul “Menjelajahi Ketidakpastian”, disebutkan bahwa risiko pembiayaan utang berpotensi jadi akut untuk Indonesia dan Thailand. Sebab, nilai utang jangka pendek kedua negara mencapai US$ 50 miliar (Rp 758,3 triliun) dan US$ 63 miliar.
Nilai US$ 50 miliar untuk pembayaran dengan jangka waktu di bawah 1 tahun, jelas merupakan sebuah “situasi yang perlu dicermati”. Begitu kira-kira menurut banyak pengamat perekonomian negeri ini. Walaupun Bank Dunia masih memberikan kata-kata “pemanis”, yakni bahwa risiko likuiditas tidak akan sepenuhnya dapat diterjemahkan sebagai risiko kesanggupan membayar utang di negara-negara tersebut karena tingkat utang luar negeri yang relatif rendah, kecukupan dan likuiditas modal sektor keuangan yang kuat, serta bantalan moneter dan fiskal yang cukup.
Menurut Bank Dunia juga, meningkatnya ongkos pembiayaan bisa menunda rencana investasi publik dan swasta. Peningkatan juga bisa mengurangi ruang fiskal untuk menerapkan kebijakan fiskal balasan serta pembiayaan kesehatan masyarakat, pendidikan, dan layanan lainnya.
Dampaknya adalah premi risiko yang biasanya digambarkan dalam bentuk yield surat utang negara (SBN), kemungkinan akan sangat tinggi untuk negara-negara yang lebih banyak meminjam di sektor publik maupun swasta. Alasannya, sektor publik dan swasta akan memperebutkan modal yang langka demi memenuhi rencana konsumsi dan investasi mereka, menawar suku bunga yang ditentukan pasar. Sebuah kondisi yang juga terjadi di Indonesia.
Namun, banyak pengamat perekonomian juga harus mengakui bahwa pelemahan ini tidak bisa dihindari seiring dinamika global yang begitu kuat. Arah normalisasi kebijakan moneter di AS yang agresif hingga 2020, perang dagang antara AS dan Cina, hingga yang terbaru dinamika politik di Italia.
Bank Sentral AS, Federal Reserve atau The Fed pada 26 September lalu kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke rentang 2-2,25% dengan median 2,125%. Ini merupakan kali ketiga pada tahun ini The Fed melakukan kebijakan tersebut.
Gubernur The Fed, Jerome Powell, bahkan terang-terangan menyatakan akan kembali menaikkan Federal Funds Rate (FFR) pada Desember mendatang. Sementara pada 2019, The Fed akan menaikkan setidaknya tiga kali lagi. Pada akhir 2020, median FFR ditargetkan berada di level 3,4%.
Kondisi ini tentu berdampak kepada kenaikan imbal hasil (yield) instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Akibatnya, aliran modal asing yang kembali masuk ke Negeri Paman Sam dan mendorong penguatan dolar AS. Sejak awal tahun hingga hari ini, indeks dolar yang menggambarkan dolar AS terhadap enam mata uang utama menguat hingga 3,69%. Tentu penguatan tersebut menyebabkan mata uang global termasuk rupiah tertekan.
Selain itu, faktor memanasnya tensi perang dagang antara AS dan Cina ikut mempengaruhi. Tahun ini, Presiden AS, Donald Trump, telah mengenakan dua aturan resmi pengenaan bea masuk bagi produk impor Cina, masing-masing 25% dan 10%.
Kebijakan Trump tersebut didorong defisit perdagangan Negeri Paman Sam dengan Cina yang cukup besar. Pada 2017 saja, AS mengalami defisit mencapai US$ 375 miliar.
Alasan itu tentu tidak dibenarkan pihak Beijing. Negeri Tirai Bambu juga ikut memberlakukan tarif impor terhadap produk AS dengan besaran yang sama.
Aksi saling balas ini menimbulkan apa yang disebut perang dagang. Sontak kondisi ekonomi global jadi kacau balau.
Apakah kondisi ekonomi Indonesia kian mengkhawatirkan? Tanda-tanda ke arah sana memang masih jauh. Namun, jika melihat angka penerimaan pajak sampai 30 September 2018 yang mencapai Rp 900,82 triliun, jelas siapa pun akan waswas. Bukan apa-apa, angka tersebut merupakan 63,26% dari target APBN 2018. Sebagaimana diketahui, pada 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak 2018 sebesar Rp 1.424 triliun dalam APBN.
Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menerangkan bahwa ada beberapa cara untuk mengatasi rupiah yang keok dari dolar AS. Pertama, dengan memberikan insentif pada investor yang tidak menarik dividennya untuk kemudian diinvestasikan kembali di dalam negeri.
Kedua, dan ini yang paling cepat adalah, pemerintah harus berani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan begitu, impor minyak berkurang sejalan dengan permintaan yang berkurang. Logika ini masuk akal. Sudah jadi rahasia umum bahwa biang kerok pelemahan rupiah adalah tingginya impor BBM yang per harinya mencapai puluhan juta dolar AS.
Namun, menjelang perhelatan pemilu seperti sekarang, menaikkan harga BBM kemudian tarif listrik jelas merupakan langkah bunuh diri. Apalagi dengan ambisi petahana yang ingin mengulang masa kepresidenannya untuk kali yang kedua.
Jika mengacu pada pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, bahwa BI akan tetap melakukan penetrasi di pasar valuta asing (valas), bisa dikatakan pemerintah lebih rela menguras cadangan devisa untuk menahan kejatuhan rupiah lebih lanjut. Di sisi lain, BI juga terus melakukan koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan di Indonesia.
Apakah langkah itu termasuk kemungkinan menaikkan harga BBM di masa depan? Hanya waktu yang bisa membuktikan.