Indonesia sukses menyelenggarakan Asian Games. Namun, perhelatan akbar olahraga itu tak luput dari gangguan. Salah satunya adalah bahaya laten kebakaran lahan. Tercatat Riau danKalimantan Barat, dua provinsi dengan kejadian yang lumayan merugikan. Yang menarik, pada pertengahan Agustus lalu, lembaga swadaya (LSM) lingkungan serempak melakukan serangan terhadap dua perusahaan produsen kertas besar.
Para LSM lingkungan itu melontarkan tuduhan terhadap kontraktor pemasok bahan baku Asia Pulp and Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) yang berada di Kalimantan Timur.
Aneh? Tentu saja. Secara logis, jika LSM-LSM itu memang memiliki niat mulia menjaga lingkungan, dalam hal ini kelestarian hutan, akan sangat mudah bagi mereka untuk berkontribusi di tempat terjadinya bencana: mencari aktor di balik kondisi merugikan tersebut dan membantu penyelidikan pihak berwajib. Lalu, mengapa protes itu dilakukan atas dan di wilayah pengembangan sektor industri kehutanan?
Sebagaimana diketahui publik, pada pertengahan Agustus lalu sebuah artikel di laman WWF Indonesiamenyebar di dunia maya. Artikel ini berisi informasi bahwa APP dan APRIL masih membeli kayu dari perusahaan yang menebang hutan alam, sebagaimana termuat dalam laporan realisasi pemenuhan bahan baku industri yang tercatat di sistem resmi pemerintah, atau biasa disebut Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Online.
Kedua grup ini pada 2017 tercatat membeli kayu dari PT Fajar Surya Swadaya (FSS), salah satu konsesi hutan tanam industri (HTI) di Kalimantan Timur, yang diklaim berdasarkan analisis citra satelit telah melakukan penebangan hutan alam sekitar 20.000 hektare sejak 2013. APP bahkan tercatat juga membeli kayu dari PT Silva Rimba Lestari (SRL), konsesi HTI lainnya di Kalimantan Timur yang berdasarkan analisis citra satelit menebang habis hutan alam sekitar 12.000 hektare sejak 2013.
Yang mencurigakan, pihak LSM mendesak perusahaan agar menyampaikan data meyakinkan mengenai kesanggupan pasokan hutan tanamannya, baik APP maupun APRIL, dalam meningkatkan secara signifikan kapasitas pabrik pulp dan/atau pengolahan hilirnya.
Murni Perjuangan?
Jelas publik bertanya-tanya, murnikah perjuangan mereka? Karena jika APP dan APRIL membuka data tersebut, sama saja memperlihatkan “jeroan” perusahaan. Pihak LSM juga mengklaim bahwa bukti-bukti keterhubungan APP dengan perusahaan yang terlibat deforestasi skala besar tidak hanya berupa konsesi HTI afiliasi dari Grup konglomerasi besar Djarum di Kalimantan Timur ini.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa pelanggaran APP terhadap komitmen nol deforestasi, sedikit banyak, dapat disebabkan juga oleh pembangunan industri OKI Pulp & Paper, pabrik pulp dan tisu skala raksasa di Sumatera Selatan, yang mulai beroperasi pada akhir 2016. Dengan kapasitas produksi 2,8 juta ton per tahun OKI Pulp & Paper, kebutuhan pasokan serat kayu APP naik 75% hingga mencapai 31 juta m3 kayu per tahun.
Di sisi lain, RGE Group, induk konglomerasi APRIL, saat ini sedang membangun pabrik besar viscose staple fiber (VSF) dan mengubah satu lini produksi bubur kertasnya menjadi penghasil dissolving pulp (DP) di Pangkalan Kerinci, Riau. Di tempat itu pula terdapat pabrik unggulan RGE.
Benarkah seperti itu? Yang membuat heran publik adalah, kisruh ini justru terjadi ketika pasar kertas global dan nasional sedang menunjukkan gairah tinggi. Analis Bahana Sekuritas, Gregorius Gary, mengatakan bahwa tren industri bubur kertas dunia punya prospek cerah. Harga kertas dunia US$ 636 per ton pada 2017, diprediksi naik sekitar 26% setiap tahun. Sementara itu, sudah jadi rahasia umum bahwa saat ini hanya dua negara yang punya peluang memproduksi bubur kertas secara efesien, yaitu Indonesia dan Brasil. Tak heran jika di kedua negara inilah aktivitas investasi di sektor kertas dan bubur kertas berlari kencang.
Tentu saja, tingginya kesibukan aktivitas investasi sejalan dengan derasnya permintaan kertas dan bubur kertas nasional. Tengok kinerja dari emiten bubur kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP) dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM). Kinerja harga saham INKP dan TKIM juga naik signifikan dalam enam bulan terakhir. INKP naik 304,91% ke level Rp 19.800 per saham, sedangkan TKIM naik 475,73% menjadi Rp 17.700 per saham.
Begitu juga dengan saham PT Sriwahana Adityakarta Tbk (SWAT) yang baru melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (8/6/2018). Harga SWAT naik 24,71% ke level Rp 424. Tak heran, pasar merespons positif rencana perusahaan ini untuk ekspansi ke bisnis bahan baku kertas.
Atas insiden tersebut, pihak APP tegas menolak tuduhan Koalisi LSM, lebih dikenal sebagai Auriga, seperti termuat dalam laporannya berjudul “APP dan APRIL melanggar kebijakan nol deforestasi dengan pembelian kayu dari konsesi Grup Djarum di Kalimantan Timur”. Laporan ini berisi kesalahan fakta dan menyajikan informasi tidak lengkap dan harus diperbaiki.
APP tidak terlibat dalam deforestasi, baik secara langsung, melalui perusahaan yang dimiliki APP, atau secara tidak langsung, melalui pihak ketiga. APP juga mengklaim tidak memiliki atau mengendalikan PT Sarana Bina Semesta Alam (SBSA), yang diduga memperoleh pasokan serat dari PT SRL dan PT FSS.
Baik PT SRL maupun PT FSS adalah pemasok serat yang disetujui untuk APP. APP melakukan evaluasi SERA di PT FSS mulai Maret hingga November 2017, tetapi akhirnya tidak disetujui sebagai pemasok. Dalam dokumen administratif, APP membeli sejumlah kayu dari PT FSS. Pengiriman percontohan disampaikan setelah pemasok melewati penilaian desktop SERA, tetapi sebelum penaksiran SERA onsite diselesaikan.
Itu pernyataan resmi APP. Lalu, bagaimana dengan tuduhan lainnya? Ternyata penolakan juga datang dari Grup APRIL. Perusahaan tersebut menerangkan bahwa semua pasokan serat ke pabrik mereka terikat oleh APRIL SFMP 2.0, termasuk pasokan pasar terbuka dari PT FSS.
Kebijakan ini diberlakukan melalui sosialisasi, proses uji tuntas internal, pemantauan kepatuhan termasuk perubahan tutupan lahan internal melalui data satelit, dan verifikasi independen oleh KPMG PRI Kanada di bawah naungan Komite Penasihat Pemangku Kepentingan APRIL (SAC). Kerangka kerja audit KPMG menggabungkan masukan dari dua putaran forum pemangku kepentingan dan konsultasi publik, serta dari LSM yang menerbitkan Kriteria dan Indikator.
Laporan audit 2017 yang diterbitkan baru-baru ini dari KPMG PRI – Laporan Implementasi Kebijakan Manajemen Hutan Berkelanjutan APRIL Group 2.0 – menegaskan bahwa deforestasi nol dan tidak ada komitmen penggunaan kayu campuran telah ditegakkan. Laporan ini juga mencatat peningkatan yang signifikan dalam meningkatkan transparansi di seluruh rantai pasokan APRIL dan kemampuannya untuk mengakses data pemasok sepanjang tahun, termasuk dari pemasok pasar terbuka dan merupakan area fokus untuk perusahaan dan SAC.
Menanggapi laporan yang dirilis Auriga, Grup APRIL menegaskan bahwa PT FSS adalah pemasok pasar terbuka kayu perkebunan kepada perusahaan, mulai Juni 2017, dan setelah proses due diligence internal selesai. APRIL mengonfirmasi bahwa perusahaan tersebut tidak membeli dan menggunakan kayu hutan alam dari pasar terbuka ini atau dari pemasok lain.
Sementara itu, PT FSS telah menugaskan Tropenbos International untuk melakukan penilaian nilai konservasi tinggi atas konsesi mereka pada April 2015. Ini adalah dasar untuk pengembangan perkebunan yang dilakukan di wilayah non-HCV pada 2016-2017.
Klaim bahwa APRIL/RGE telah melakukan “ekspansi besar di Indonesia” tidak benar. Pembentukan pabrik rayon viscose oleh Asia Pacific Rayon adalah strategi diversifikasi hilir yang dipimpin RGE, mengikuti pergeseran dalam strategi pertumbuhan dari volume ke nilai. Hal ini telah dikonfirmasi LSM yang menulis laporan dalam dua email komprehensif menanggapi permintaan yang dikirim pada 13 Juni dan 16 Juli 2018. Dalam pertukaran ini, APRIL telah secara tegas menyatakan bahwa belum ada ekspansi dalam kapasitas produksi.
Total kapasitas produksi pulp masih 2,8 juta ton. Tidak ada tambahan kapasitas bubur kertas atau bubur kertas yang dipasang di kompleks pabrik Kerinci. Produksi pulp di seluruh jenis produk ditentukan secara berkala berdasarkan kebutuhan pasar.
Mengacu pada data terjamin terbaru, total konsumsi serat perkebunan APRIL 10.182.550 ton pada 2016 dan 10.413.540 ton pada 2017. Serat bersumber dari konsesi yang dimiliki RAPP (33%), mitra pemasok (38%) ,dan pemasok pasar terbuka (29%). Daftar pemasok tersedia di Dasbor Keberlanjutan APRIL, termasuk peta konsesi mereka. Di luar daftar ini, tidak ada keterlibatan dengan konsesi HTI lain di Indonesia.
Dengan penjelasan yang runut dan lengkap, tak heran bila publik mempertanyakan maksud Koalisi LSM yang dinamakan Auriga tersebut. Apa maksud mereka menyerang perusahaan yang beroperasi di Indonesia, pada saat harga komoditas sedang bagus-bagusnya? Plus, mengapa mereka terus menyerang ketika berlangsung perhelatan Asian Games? Apalagi sebagaimana diketahui, Indonesia dan Brasil adalah dua negara yang masih memungkinkan mengalami pertumbuhan industri kertas dan bubur kertas secara efisien.