Target dan rencana pemerintah untuk menjadikan sector pariwisata sebagai sektor unggulan penggerak laju perekonomian nasional, tampaknya tidak mainmain. Setelah terbukti memberikan devisa negara yang terus meningkat dalam kurun satu dasawarsa terakhir, sektor pariwisata kemudian ditetapkan menjadi leading sector oleh Presiden dalam sebuah rapat terbatas. Pariwisata juga diharapkan mampu memberikan PDB, devisa dan lapangan kerja yang paling murah dan mudah
Berdasarkan laporan Travel and Tourism Competitiveness Report 2017 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), posisi daya saing pariwisata Indonesia di antara negara Asean sendiri, masih berada di peringkat keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Merujuk kepada data pemerintah, pertumbuhan pariwisata Indonesia dalam kurun Januari hingga Oktober 2017 berkisar di angka 24%, masih kalah dibandingkan Vietnam yang tumbuh 25,2% tetapi jauh di atas Thailand (6,68%) serta Singapura (3,83%). Malaysia dalam periode yang sama justru mengalami tekanan pertumbuhan pariwisata sebesar minus 0,87%.
Dalam beberapa indikator penilaian, pariwisata Indonesia masih mengalami permasalahan serius pada persoalan keamanan dan keselamatan, kesehatan dan kebersihan, kesiapan ICT, ketahanan lingkungan, serta layanan infrastruktur pariwisata. Untuk memacu pertumbuhan pariwisata tersebut, pemerintah di tahun 2015 kemudian memunculkan program penciptaan 10 destinasi pariwisata baru selain Bali.
Program 10 destinasi pariwisata baru selain Bali tersebut terbentang mulai dari Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulaun Seribu dan Kota Tua di DKI Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Semeru dan Tengger-Bromo di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB), Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Morotai.
Total kebutuhan investasi yang harus disediakan mencapai US$ 20.000 dengan proyeksi kunjungan wisatawan mencapai 10 juta pengunjung. Besarnya kebutuhan investasi pengembangan 10 destinasi pariwisata baru selain Bali tersebut akan menjadi sangat bijaksana jika dijalankan bukan hanya mengandalkan penganggaran dari pemerintah semata, namun dapat pula mengikutsertakan peran dari swasta dan para pihak lainnya.
Untuk itulah, pemerintah kemudian menyusun strategi pengembangan dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang dipadukan dengan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta Badan Otoritas Pariwisata. Dengan demikian ke depannya, para pihak nonpemerintah memiliki panduan yang jelas ketika akan masuk dan berinvestasi di sektor ini.
Namun demikian, untuk beberapa hal yang bersifat mendasar seperti pembangunan infrastruktur, pemerintah tetap mengalokasikan dana melalui sistem kewenangan yang ada. Karena kewenangan di sektor pariwisata sudah termasuk kewenangan yang diserahkan kepada daerah, konsekuensinya APBD wajib mendanai. Jika memang dirasakan belum mencukupi, maka APBN dapat memberikan bantuan melalui rezim Transfer ke Daerah.
Di tahun 2016, bantuan APBN melalui skema Transfer ke Daerah di dalam komponen DAK, sudah mulai dijalankan. Terlepas dari belum selesainya evaluasi manfaat dari DAK Pariwisata, di tahun 2019 nanti pemerintah justru semakin menambah opsi pendanaan yang akan masuk di dalam isu pariwisata nasional melalui kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
KUR Pariwisata
Mekanisme KUR dalam pelaksanaannya, tentu melibatkan lembaga perbankan nasional. Dilihat dari data periode Agustus 2015 hingga Juni 2018, lembaga perbankan terbesar yang menyalurkan KUR adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan plafon hingga 199.783,11 dan rasio kredit bermasalah (NPL) 1,29%.
Berikutnya adalah Bank Mandiri, BNI, BTN, Bank Umum Swasta, BPD dan Perusahaan Pembiayaan serta Koperasi. Masuknya KUR di sektor pariwisata ini memang sudah sesuai dengan peta jalan pengembangan yang disampaikan Bank Indonesia (BI) khususnya beberapa masukan terkait dengan tujuan efisiensi KUR.
Disebutkan bahwa ke depannya distribusi KUR tidak lagi terkonsentrasi hanya di Jawa (sekitar 54,6%) serta refocussing lini usaha untuk masuk di dalam usaha rintisan (start-up).
Skema KUR sejatinya hanya menjadi salah satu konsep pengembangan kapasitas usaha mikro dan menengah oleh pemerintah. Hal ini didasari permasalahan klasik yang sering dihadapi di antaranya: beberapa persyaratan agunan tambahan yang menyebabkan sektor UMKM menjadi tidak bankable atau justru kegiatan usaha dari UMKM tersebut tidak feasible sehingga creditworthiness UMKM tidak dipercaya oleh perbankan.
Untuk menjawab permasalah agunan tersebut, pemerintah kemudian membuat kebijakan skema kredit program penjaminan, contohnya KUR. Sementara untuk permasalahan UMKM yang usahanya tidak feasible, pemerintah membuat kebijakan skema kredit subsidi bunga.
Skema penjaminan, pada dasarnya merupakan suatu pembagian risiko (risk sharing) antara pihak penjamin dan perbankan. Idealnya, skema penjaminan dapat berjalan dengan baik apabila skema ini diterapkan kepada debitur yang baik (creditworthiness) dan memiliki potensi usaha yang memadai namun terkendala oleh masalah agunan.
Sayangnya, pola seperti ini di masa lalu memiliki catatan negatif mengingat adanya persepsi pelaku usaha tidak perlu lagi menyelesaikan kewajibannya karena sudah dijamin oleh pemerintah, dalam kasus Kredit Usaha Tani (KUT) dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Dengan skema penjaminan ini, pemerintah selaku penjamin melakukan pembayaran premi (imbal jasa) atas kredit yang disalurkan. Dalam hal ini, pemerintah memberikan jaminan atas nama debitur UMKM yang memperoleh pembiayaan/ kredit perbankan, melalui lembaga penjaminan kredit seperti melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo ataupun lembaga penjaminan kredit lainnya.
Mekanisme perhitungan besaran premi (imbal jasa) dilakukan atas dasar realisasi (atau baki debet/outstanding, tergantung atas kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan penjaminan) dan besaran persentase tariff premi yang ditetapkan sesuai porsi penjaminan yang ditanggung oleh pemerintah).
Sebaliknya, dalam skema kredit subsidi bunga, ditujukan untuk UMKM yang secara persyaratan agunan sudah memenuhi kriteria (tidak butuh biaya besar dengan waktu relatif singkat), namun terkendala pada kelayakan usaha (feasibility) sehingga perbankan terkesan membatasi akses pembiayaan terutama jika usaha memiliki risiko atau potensi gagal bayar cukup besar. Persoalan utama terletak pada gap antara pendapatan yang diterima UMK dengan tingkat suku bunga perbankan yang berlaku untuk usaha tersebut.
Untuk itulah pemerintah melalui kebijakan skema kredit subsidi bunga berusaha memberikan fasilitas sehingga kegiatan usaha UMK dapat bertahan sekaligus memperoleh manfaat. Dalam hal ini, pemerintah menanggung selisih tingkat suku bunga komersial yang berlaku untuk kegiatan usaha sejenis dan tingkat bunga yang menjadi beban UMKM.
Porsi tingkat bunga bagian pemerintah besarannya ditentukan dengan memperhatikan perkembangan dan potensi kegiatan usaha yang mendapatkan fasilitas subsidi bunga contoh: KKP-E, KPEN RP, KPP NAD Nias, KUPS, S-SRG. Di tahun 2019 selain memperluas cakupan, pemerintah juga sepakat untuk menaikkan pagu KUR dari Rp 117 triliun menjadi Rp 140 triliun. Dengan demikian penekanan arti pentingnya kehadiran pemerintah memang sangat ditekankan di dalam skema KUR ini.
Untuk sektor pariwisata, KUR nantinya akan menjangkau agen perjalanan wisata, sanggar seni, penyelenggaraan MICE, penyediaan makanan dan minuman, jasa informasi pariwisata. Selain itu, menyasar usaha pengelolaan tempat wisata, jasa konsultan pariwisata, usaha jasa pramuwisata, wisata tir ta, jasa transportasi pariwisata, industry kerajinan dan oleh-oleh.
Jika sudah demikian, tugas ke depan adalah bersama-sama menjaga aspek good governance dan pengelolaan dari skema KUR pariwisata ini, demi terciptanya keberlanjutan kebijakan yang membawa dampak kesejahteraan terhadap masyarakat secara umum. Jangan sampai pola kebijakan yang dimunculkan tersebut justru menghasilkan moral hazard baru di dalam implementasinya.