Rapat terbatas di Istana Bogor yang dihadiri 17 pejabat negara menghasilkan keputusan penting. Negara akhirnya membatalkan rencana pencabutan peraturan Domestic Market Obligation (DMO) batubara. Sebagaimana diketahui, melalui peraturan inilah kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terselamatkan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Energi, Luhut Pandjaitan, memberi pernyataan ke media bahwa niatan pemerintah mencabut peraturan ini adalah baik. Pemerintah ingin agar ekspor batubara meningkat sehingga bisa digunakan untuk menambal defisit neraca pembayaran yang mencapai US$25 miliar. Sebagai gantinya, pemerintah akan melakukan pungutan khusus batubara senilai US$ 2-3 per metrik ton.
Sekilas peraturan baru itu sangat menguntungkan. Padahal, setelah dihitung-hitung oleh para pengamat energi, PLN berpotensi nombok besar. Dengan menggunakan asumsi volume total sekitar 450 juta ton per tahun, fee batubara yang didapatkan pemerintah US$ 337,5 juta atau senilai Rp 4,7 triliun. Ditambah pemasukan negara nonpajak, total pemasukan negara diperkirakan tak lebih dari US$ 1.5 miliar.
Di sisi lain, dengan dilepasnya harga DMO, membuat PLN harus membayar ongkos bahan bakarnya dengan harga pasar. Sebagaimana diketahui, untuk semester I tahun 2018 ini saja, PLN dilaporkan telah mengalami kerugian Rp 6,8 triliun akibat depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditas batubara global.
Namun, yang tak boleh dilupakan, jikalau PLN bisa mendapatkan seluruh dana pungutan batubara yang mencapai Rp 4,7 triliun tersebut, akan ada jeda waktu cairnya dana yang bersangkutan. Padahal, PLN bakal segera terkena dampak kenaikan harga bahan bakar ketika peraturan DMO dicabut.
Ketika dikonfirmasi terkait potensi kerugian yang dialami oleh PLN, Luhut Pandjaitan dengan tegas segera menampiknya. Menurut Luhut, aturan pencabutan tersebut tak akan mengganggu kinerja keuangan PLN. Peraturan baru nantinya tak akan berefek pada kenaikan tarif listrik di masyarakat. Lagipula, pemerintah rencananya baru akan menerapkan aturan ini pada 2019, setelah sebelumnya melakukan sosialisasi.
Sebagaimana diketahui, peraturan DMO sebesar 25% ini mewajibkan setiap produsen batubara untuk mengalokasikan 25% dari produksinya bagi kepentingan suplai batubara domestik, terutama bagi industri pembangkit listrik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, di lapangan peraturan ini ditentang oleh perusahaan-perusahaan batubara, terutama yang berskala menengah ke bawah. Mereka ini adalah perusahaan yang memproduksi batubara kualitas menengah hingga rendah, yakni di bawah 4.200 Kcal/Kg.
Mayoritas pembangkit listrik milik PLN dan juga swasta menggunakan batubara di kisaran 4.300–5.200 Kcal/Kg. Sontak peraturan ini membuat mereka kelimpungan. Lalu munculah peraturan antara yang mencoba memberikan solusi, yakni perusahaan-perusahaan kecil itu bisa ikut memasok batubara PLN dengan membeli jatah kuota dari perusahaan batubara besar.
Di atas kertas peraturan ini terlihat sangat membantu. Namun, pada praktiknya, banyak produsen batubara skala menengah dan kecil harus gigit jari karena harga kuota itu tidaklah murah. Apalagi dengan kenyataan bahwa harga acuan batubara telah mencapai US$ 104 per ton.
Tak heran bila kemudian Asosiasi Produsen Batubara Indonesia (APBI) berteriak kencang karena banyak anggotanya harus gulung tikar karena tak mampu menemukan pembeli bagi batubara mereka. Sementara untuk pasar ekspor, mereka harus bersaing ketat dengan produsen dari India dan Cina yang memang punya produksi batubara kalori rendah skala gigantis. Margin penjualan mereka pun tergerus habis karena jatuhnya harga.
Yang menarik, APBI sekarang ini dipimpin oleh Pandu Syahrir, CEO PT Toba Bara. Sebuah perusahaan batubara yang beroperasi di Kalimantan Timur dan Selatan, yang didirikan oleh Luhut Pandjaitan, beberapa waktu lalu.
PLN sebagai pihak yang paling dirugikan atas pencabutan aturan DMO ini telah menyuarakan penolakan. Melalui Direktur Komunikasinya I Made Suprateka, PLN menyatakan bahwa jika peraturan DMO itu dihilangkan, PLN akan berpotensi mendapatkan tambahan beban operasional hingga US$ 3,5 miliar. Padahal, potensi pendapatan dari pungutan batubara hanya mencapai US$ 1,4 miliar saja. Jika dipaksakan, PLN terpaksa harus mencari utangan baru dengan denominasi dolar Amerika yang dalam kondisi sekarang ini tentu tak murah.
Jalan tengah pun diajukan oleh asosiasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Menurut ketua Kadin, ada baiknya peraturan ini direvisi. Kewajiban 25% pasokan domestik hanya ditujukan kepada produsen batubara dengan jenis kalori tertentu, yakni tipe yang sesuai dan selama ini mayoritas dipakai oleh PLN, sedangkan bagi tipe kalori berkualitas lebih tinggi dan lebih rendah dari itu dibebaskan dari kewajiban mampu pasok dalam negeri. Mereka akan diperbolehkan mengekspor 100% hasil produksi mereka, dengan tetap akan membayar pungutan ekspor yang besarannya bisa mencapai US$ 2-3 per ton.
Keputusan ini dinilai Kadin akan menguntungkan perusahaan batubara, juga negara. Para produsen batubara akan mampu mengejar target keuntungan mereka, PLN pun tetap mendapatkan pasokan batubara murah, sedangkan negara bakal mendapatkan pemasukan tambahan dari pendapatan negara bukan pajak dari sektor ini.