LSM asing kembali berulah di Indonesia. Kali ini Greenpeace menyerang perusahaan sawit besar Wilmar. Sebanyak 23 aktivis Greenpeace bersama empat personel grup band musik Boomerang pada Selasa (25/9/2018) menduduki kapal penyuplai minyak sawit dan tangki timbun milik Wilmar.
Walaupun digadang-gadang sebagai aksi damai, tak pelak aksi teatrikal itu memicu polemik. Apalagi dibumbui berita-berita media yang menyerang Wilmar sebagai pedagang minyak sawit terbesar dunia yang masih terkait praktik perusakan hutan di Indonesia. Wilmar sang perusak, penyuplai minyak sawit bagi merek-merek ternama, yaitu Nestlé, Unilever, Colgate, dan Mondelez. Begitu kira-kira serangan kampanye hitam itu berbunyi.
Yang membuat mata publik terpicing adalah, apa yang sebenarnya dibidik oleh NGO legendaris ini? Menyerang Wilmar hingga harga sahamnya jatuh di bursa Singapura? Ataukah menyerang kredibilitas pemerintah Indonesia?
Bukan apa-apa, persoalannya adalah baru-baru ini pemerintah resmi meluncurkan mandatori perluasan bahan bakar minyak solar dengan campuran 20 persen minyak sawit alias B20, Jumat (31/8/2018). Artinya, Biodiesel kini juga bisa digunakan oleh kendaraan yang tak disubsidi atau non public service obligation (PSO).
Tak hanya itu, pemerintah juga memutuskan untuk memperluas penggunaannya bagi mesin-mesin lain yang menggunakan solar, mulai dari mesin pabrik, pertanian, hingga pembangkit listrik. Bahkan, pemerintah mengancam pihak-pihak yang masih menjual solar murni dengan denda Rp 6.000 per liter. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menjelaskan bahwa perluasan penerapan kewajiban pencampuran Biodiesel B20 mulai 1 September 2018, bertujuan untuk mengurangi defisit dan impor bahan bakar minyak serta menghemat devisa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia masih menjadi net importer BBM dan minyak mentah jenis tertentu. Jumlahnya pun tak main-main. Dengan kebutuhan harian bahan bakar yang mencapai 2 juta barel, hanya bisa dipenuhi 800 ribu barel saja dari produksi domestik. Sejumlah 1.2 juta barel lainnya masih menjadi komoditas impor. Jika menggunakan harga US$ 50 per barel saja, nilainya sudah US$ 60 juta per hari.
Bayangkan potensi penghematan yang hingga mencapai US$ 60 juta atau setara dengan Rp 8.4 triliun per hari dengan menggunakan asumsi kurs Rp 14.000 per 1 dolar AS. Belum lagi dari penghematan devisa non-BBM.
Sebagaimana diketahui, Mandatori B20 mewajibkan solar harus memiliki kandungan mengandung 20% fatty acid methyl ester (FAME). Pemakaian minyak sawit non-PSO ini diperkirakan mencapai 940 ribu kl sehingga dapat menghemat devisa US$ 500 juta (Rp 7,34 triliun) untuk periode September-Desember 2018. Sebab selama ini solar harus diimpor dari luar negeri. Sementara itu, pemakaian FAME untuk PSO pada periode yang sama akan mencapai 1,92 juta kl dengan nilai US$ 1,02 miliar (Rp 14,96 triliun).
Penggunaan FAME sepanjang 2018 diperkirakan mencapai 3,91 juta kl sehingga dapat menghemat devisa sebesar Rp 30,59 miliar. Sementara penggunaan FAME 2019 bakal mencapai 6,24 juta kl dan berpotensi menghemat devisa US$ 3,34 miliar (Rp 48,73 triliun).
Di sisi lain, pemerintah juga mengakui bahwa penerapan mandatory biodiesel selama ini belum lah optimal. Sasaran mandatori ini belum menyeluruh, terutama transportasi non-PSO, industri, pertambangan, dan kelistrikan. Dengan adanya perluasan ini, terhitung mulai 1 September 2018 tidak akan ada lagi peredaran solar murni tanpa pencampuran Biodiesel (B-0).
Mekanisme pencampuran B20 akan melibatkan dua badan usaha. Pertama Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) selaku penyedia solar, setelah itu Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang memasok fatty acid methyl esters (FAME) dari crude palm oil (CPO).
Memang pemerintah masih memberikan pengecualian, terutama bagi pembangkit listrik yang menggunakan turbine aeroderivative, alat utama sistem senjata (alutsista), serta perusahaan tambang Freeport yang berlokasi di ketinggian. Terhadap pengecualian tersebut, digunakan B0 setara Pertadex. Ke depannya pemerintah juga akan mengupayakan perbaikan teknologi, infrastruktur, sampai penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk Biodesel.
Dengan fakta tersebut, tak salah bila publik Indonesia mengkritisi aksi protes Greenpeace. Mengapa dengan kondisi terkini yang begitu dinamis dan perlu penanganan serius, NGO legendaris itu masih meributkan masalah lama, yakni tentang deforestasi hutan yang sekarang ini pun tengah diperbaiki secara bertahap oleh pemerintah Indonesia?
Secara mikro tentu saja pertanyaan publik itu akan sangat sulit untuk dijawab. Namun, jika mencermati kondisi perdagangan global sekarang, sebenarnya dinamika itu sudah bisa terbaca. Seperti diketahui, dua kekuatan utama ekonomi dunia, AS dan Cina, terus melanjutkan perang dagangnya. Terakhir, Cina memberikan tarif bea masuk sebesar 25 persen untuk produk kedelai AS, termasuk minyak nabati.
Kebijakan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk semakin memperbesar volume ekspor komoditas minyak kepala cawit (CPO) Indonesia ke Cina. Setidaknya hal ini yang diyakini para pengusaha kelapa sawit Indonesia.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Susanto, pernah melontarkan pernyataan menarik ke media. Perang dagang antara dua negara terkuat ini bisa menjadi peluang Indonesia untuk mengisi produk-produk yang saling dikenakan pajak tinggi di kedua negara itu.
Apalagi Cina sudah menjadi importir CPO terbesar nomor satu dari Indonesia. Nilai impor kelapa sawit Cina dari Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan secara signifikan. Akhir tahun lalu, impor kelapa sawit Cina dari Indonesia mencapai 3,73 juta ton, naik dibandingkan dengan 2016 sebanyak 3,23 juta ton. Gapki memprediksi, ekspor minyak sawit ke Cina akan meningkat volumenya secara besar-besaran.
Dengan kian besarnya volume sawit yang masuk pasar Cina, menyebabkan para pedagang sawit Indonesia tak lagi pusing ke mana harus mengalihkan CPO tujuan Eropa yang kini sedang mengalami hambatan. Ditambah lagi dengan program pemerintah untuk menaikkan konsumsi CPO domestik melalui program mandatory B20.
Alhasil, pedagang minyak nabati di Eropa berpotensi mengalami kerugian akibat suplai yang ketat yang berakibat pada meningginya harga. Di sisi lain, akan sangat berbahaya bagi Eropa jika mengandalkan minyak nabati produksi domestik yang lebih mahal ataupun jika harus mengimpor dari daratan Amerika yang memang punya harga kompetitif, tetapi terbebani oleh harga transportasi yang menjulang.
Dengan kondisi seperti ini, amat logis jika publik Indonesia pun mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Bahwa aksi Greenpeace itu sendiri punya misi yang masih sumir. Apa misi tersebut? Hanya para legenda NGO itu yang mengerti.