Jakarta – Kampanye lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, seperti Greenpeace, terhadap industri sawit bagian dari persaingan dagang. Upaya sistematis ini berpotensi mengganggu kegiatan ekspor di sektor perkebunan, seperti kelapa sawit, yang menjadi komoditas strategis nasional.
Demikian dikemukakan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu (26/9). “Memang itu semua (kampanye) target mereka. Ujungnya kepada persaingan bisnis. Ada kepentingan di balik itu semua,” kata Bambang.
Menurut dia, kampanye ini jelas mengganggu eksistensi Indonesia di pasar global mengingat ekspor produk perkebunan terus meningkat sepanjang dua tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, ekspor komoditas perkebunan tumbuh 26,5% menjadi Rp 432,4 triliun pada 2017. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan ekspor 2016 sebesar Rp 341,7 triliun.
Dari keseluruhan komoditas perkebunan, kontribusi sawit terhadap ekspor perkebunan terbilang tinggi, ada pertumbuhan 25,8% dari Rp 241,9 triliun menjadi Rp 307,4 triliun pada 2017. “Kampanye LSM ini merupakan bagian dari genderang, yang sengaja mereka ciptakan. Jelas kampanye ini mengganggu eksistensi ekspor kita,”jelasnya.
Hal ini untuk menanggapi kampanye Greenpeace dan Boomerang melalui tindakan menduduki kapal penyuplai sawit dan tanki sawit salah satu kelompok usaha sawit di Bitung, Sumatera Utara. Dalam kampanye ini, produsen sawit dituduh menghasilkan minyak “sawit kotor” karena dituding menghancurkan hutan di Kalimantan dan Papua.
Bambang menyayangkan aksi ini karena selama ini pemerintah sudah melalukan perbaikan tata kelola kebun seperti pengumpulan data kebun, mewajibkan pembangunan plasma, kewajiban sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kepada perusahaan, dan sistem perizinan usaha kebun. Terkait permintaan kebertelusuran (traceability), dikatakan Bambang, persoalan sawit rakyat di kawasan hutan masih tinggi.
“Kalau traceability tetap dijalankan, bisa rawan gesekan sosial di masyarakat. Jadi, jangan asal bicara traceability juga,” paparnya.
Persulit Lobi Pemerintah
Pengamat kehutanan dari IPB, Yanto Santosa mengatakan, kampanye Greenpeace dapat berakibat buruk bagi industri, apabila pihak Eropa percaya kampanye tadi. Akibatnya, pemerintah semakin sulit melobi dalam upaya mempermudah ekspor sawit ke Eropa.
Dalam hal ini, kata Yanto, tidak boleh ada intervensi LSM terhadap pengelolaan hutan di Indonesia. Makanya, bukan kewajiban pemerintah untuk mendengar kampanye tersebut. “Di lain pihak, kampanye ini dapat dilawan melalui riset ilmiah. Untuk menjawab tuduhan deforestasi yang dilakukan perusahaan,” kata Yanto. Kalangan petani menilai kampanye Greenpeace akan mematikan jutaan petani sawit di Indonesia mengingat harga sawit sedang terjerembab di sejumlah daerah sentra sawit.
Setiyono, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Indonesia, menuturkan, jika ada LSM yang ingin mematikan komoditas kelapa sawit, itu sama saja mematikan petani kelapa sawit. Bukan hanya itu, jika komoditas kelapa sawit di Indonesia mati, maka ada jutaan petani dan pekerja baik di on-farm ataupun off-farm yang juga akan mati.
“Sebab jika komoditas kelapa sawit mati mungkin perusahaan akan dengan mudah menggantikan bisnisnya dengan bisnis yang lain,” ujarnya.
Setiyono mengatakan sebuah LSM telah menuduh bahwa komoditas kelapa sawit tidak sustainable (keberlanjutan) maka yang terkena dampaknya bukan hanya perusahaan atau industrinya, tapi petaninya pun terkena dampaknya. Oleh karena itu, dia menegaskan jangan pernah ada niatan untuk membunuh komoditas kelapa sawit di Indonesia, karena bisa memukul ke semua sektor, termasuk dapat menurunkan devisa negara.