Jika disimak-simak, Festival Danau Toba (FDT) 2018 yang dimulai Selasa (4/12) di Dairi masih artifisial. Tidak alami alias buatan. FDT adalah sebuah event untuk mempromosikan Danau Toba sebagai destinasi wisata. Sangat top down dan “pemerintahan sentris.”
Tentu saja tujuan FDT itu sangat bagus. Sayangnya, masyarakat belum dijadikan subjek kegiatan, tapi lebih dikerahkan untuk menyukseskan acara tersebut.
Bahkan, Pemkab Dairi sampai berjibaku segala. Seperti ditulis MedanBisnis Kamis (29/11) silam, panitia kesulitan menyiapkan lokasi parkir. Maklum, topografi Desa Silalahi, lokasi FDT itu berbatuan dan pebukitan. Padahal, lokasi parkir ini lebih diteruntukkan bagi para pejabat maupun pengunjung.
Penginapan bagi wisatawan juga disiapkan beberapa hotel di Dairi berkapasitas 150 kamar. Ada juga 15 homestay dengan 4-5 kamar. Juga ada konsep pengunjung menginap di 5.000 tenda-tenda, dengan menyewanya dari masyarakat ataupun membawa sendiri.
Bahkan, toilet mobile di lokasi seperti dijanjikan oleh Pemerintah Provinsi Sumut, hingga pekan lalu belum ada kabar beritanya. Tak jelas apakah sekarang sudah ditunaikan.
Padahal menurut WJS Purwadarminta, festival adalah pekan atau hari gembira dalam rangka peringatan suatu peristiwa penting dan bersejarah, yang menunjukan bahwa festival tersebut adalah pesta rakyat.
Sebagai contoh, tanah Batak punya budaya Mangalahat Horbo – di Dairi disebut Mamantom Horbo — suatu tradisi yang merupakan perayaan kurban kerbau kepada Mula Jadi Na Bolon.
Selain merupakan pesta syukuran tahunan keturunan Raja Silahisabungan di Dairi, mamantom horbo juga dilakukan sebelum warga turun ke sawah agar tanah semakin subur dan ternak berkembangbiak.
Motifasi spirit kebudayaan inilah yang kurang dipunyai FDT selama ini. Masyarakat merasa tidak terlibat secara kultural. Meski secara ekonomi ada yang berjualan kuliner, souvenir atau menyewakan tenda.
Mestinya FDT dikolaborasikan dengan ritus kebudayaan lokal yang masih hidup. Misalnya, momentum upacara Sipaha Sada, ritus menyambut tahun baru Batak.
Saya yakin, masyarakat pun menjadi pelaku utama menampilkan beragam ritus sebagai perwujudan kebudayaannya. Event yang genuine (asli) ini pun lebih memikat hati turis asing. (Bersihar Lubis)