Drama koalisi pemilu 2019 rupanya belum berakhir. Sama-sama terjerat “intrik” dalam pemilihan calon wakil presiden (cawapres), sekarang drama muncul lagi di kubu petahana, Presiden Jokowi. Salah satu partai pengusungnya, Partai Golkar, terancam pecah suara. Rupanya di internal Golkar belum semuanya legowo dengan keputusan Jokowi menjadikan KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.
Politikus senior Partai Golkar, Fadel Muhammad, mengatakan bahwa partainya tidak satu suara dalam mendukung Jokowi-Ma’ruf dalam pemilihan presiden 2019. Itu disebabkan Jokowi urung memilih kader Golkar sebagai cawapres.
Seperti diketahui, Golkar adalah partai yang sejak awal mendukung Jokowi untuk maju kembali sebagai presiden. Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartanto, bahwa sempat masuk bursa cawapres Jokowi bersama beberapa nama lain. Namun, nama Airlangga tidak cukup kuat untuk menjadi cawapres karena akhirnya Jokowi memilih Ma’ruf Amin, tokoh dari jalur nonparpol dan tentunya bukan simpatisan atau kader partai tertentu.
Kader Kecewa
Kekecewaan semakin memuncak karena Airlangga tak terpilih, padahal Golkar sudah banyak memberikan sumbangsih kepada Jokowi. Sejak menjabat pada 2014, Partai Golkar selalu memberikan dukungan kepada Jokowi. Golkar juga selalu memberikan dukungan habis-habisan kepada pemerintah di parlemen. ”Bahkan lebih dari dukungan PDIP,” kata Fadel, seperti dikutip dari detik.com
Tidak terpilihnya Airlangga, kata Fadel, ditengarai juga karena adanya pihak lain yang ingin menjadi cawapres Jokowi. Salah satunya adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar. Itulah yang menjadikan Jokowi kemudian mengambil jalan tengah dengan mengambil cawapres dari nonparpol.
Kekecewaan itulah yang menyebabkan internal Golkar mengalami perbedaan pendapat. Sangat dimungkinkan ada kader Golkar yang menyeberang dan memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meski belum pasti siapa saja yang bakal membelot dan tidak mengikuti keputusan partai.
Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi juga dikhawatirkan menurunkan perolehan suara Partai Golkar pada pemilu mendatang. Kekhawatiran Fadel juga bukan tanpa alasan. Menurut Fadel, jika kader Golkar tak terpilih sebagai cawapres, juga akan berpengaruh pada perolehan suara Golkar. Bisa jadi Golkar tidak lagi meraup perolehan kursi terbanyak kedua di parlemen.
Pendapat Pribadi?
Kendati sudah mengatakan ada perpecahan, belum dipastikan apakah benar ucapan Fadel tersebut. Pasalnya, bisa jadi itu adalah pendapat pribadi Fadel. Dan memang pernyataan Fadel tersebut dibantah oleh kader Golkar lainnya. Menurut mereka, tidak ada perpecahan di tubuh Partai Golkar dan mereka juga tetap berkomitmen untuk memberikan dukungan kepada Jokowi.
Fadel kemudian memang meralat ucapannya. Dia mengatakan kendati kecewa dengan keputusan Jokowi tidak ada perpecahan di Golkar. Meski demikian, ucapan Fadel tak boleh diabaikan begitu saja.
Perpecahan di Golkar terkait perbedaan pilihan capres dan cawapres bukan kali pertama terjadi. Pada pilpres 2014, tiga kadernya secara terang-terangan mensuport Jokowi, padahal Golkar memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta Rajasa. Dan dalam Munas Golkar, nama Nusron Wahid, Poempida Hidayatulloh, dan Agus Gumiwang, kemudian direhabilitasi.
Tidak menutup kemungkinan ada perubahan peta dukungan sebagian kader Golkar jika apa yang dikatakan Fadel tersebut benar adanya. Artinya, kekuatan Jokowi bisa jadi goyah. Golkar adalah partai lama yang kekuatannya di daerah tak dapat diremehkan. Golkar masih memiliki pemilih loyal di pelosok Indonesia yang bisa menjadi lumbung suara bagi Jokowi.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah apakah yang menyuarakan perpecahan tersebut berada di posisi sentral atau cukup berpengaruh atau tidak. Jika tidak, artinya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dalam politik, dinamika demikian sah saja terjadi. Sebaliknya, jika suara tersebut cukup kuat, artinya ada pekerjaan rumah bagi Golkar dan kubu Jokowi agar tidak ditinggalkan pendukungnya. Mereka harus segera menyiapkan siasat agar tidak kehilangan suara.