Perseteruan antara dua pejabat negara telah menghebohkan publik Indonesia. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menolak impor beras yang didukung penuh oleh Kementerian Perdagangan. Alasannya, tak ada lagi ruang di gudang untuk menampung beras. Respons Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, yang kemudian membuat Buwas, panggilan akrab Budi, mengumpat.
Buwas menjelaskan, pihaknya harus menyewa gudang milik TNI senilai Rp 45 miliar demi menampung beras, termasuk menampung gelontoran beras impor. Buwas juga mengklaim total beras yang ditampung Bulog saat ini 2,4 juta ton. Dia memperkirakan, akan ada 2,7 ton pada akhir tahun nanti. Sebaliknya, Enggar mengatakan bahwa stok di gudang Bulog saat ini sebanyak 2,2 juta ton, 820 ribu ton di antaranya adalah beras nonimpor.
Perbedaan inilah yang pada akhirnya memicu polemik. Tak sedikit pengamat pertanian yang mengatakan bahwa polemik ini merupakan perbedaan persepsi saja. Di satu sisi, Bulog ingin menjaga agar stok beras aman dan dengan harga yang menguntungkan bagi petani dan pedagang. Di sisi yang lain, Departemen Perdagangan hanya menjalankan target yang dibebankan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan terkait besaran inflasi.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan besaran inflasi tahun ini berada di level 3,5% plus minus 1%. Secara year to date (ytd) atau periode Januari-Juli 2018 terjadi inflasi 2,13% dan secara tahunan year on year (yoy) terjadi inflasi 3,20%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, mengatakan bahwa ada tiga komoditas pangan yang perlu menjadi perhatian lebih, yakni beras, daging ayam ras, dan cabai merah. Ketiga komoditas tersebut harus diperhatikan pasokan dan distribusinya.
Pasokan komoditas yang berlimpah jika tidak dibarengi dengan distribusi yang merata akan menimbulkan kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut kemudian memengaruhi inflasi. BPS mencatat inflasi pada kelompok bahan makanan secara yoy sebesar 4,90%, sedangkan tingkat inflasi ytd sebesar 3,21%. Inflasi kelompok bahan makanan memiliki andil yang cukup besar terhadap inflasi secara keseluruhan.
Kenapa pemerintah begitu mengkhawatirkan tingkat inflasi? Tak lain karena inflasi berhubungan dengan tingkat imbal (yield) hasil surat utang pemerintah. Semakin rendah inflasi, pemerintah tak perlu menaikkan yield obligasi negara. Jikapun harus menaikkan, hanya sebagai langkah darurat agar pasokan likuiditas valuta asing tetap terjaga.
Kondisi di pasar keuangan terkini pantas membuat siapa pun waswas, tak terkecuali pemerintah. Koreksi pasar obligasi yang terjadi pada Agustus 2018 jadi bukti sahih. Turbulensi yang terjadi di pasar surat utang telah melambungkan tingkat imbal hasil (yield) seri acuan 10 tahun menembus level psikologis 8%.
Yield tersebut tertinggi sejak 16 Desember 2016. Saat itu pelemahan terjadi karena memanasnya kondisi krisis mata uang Turki dan makroekonomi Indonesia yang mulai mengkhawatirkan pelaku pasar. Sentimen negatif membuat keluar aliran dana investasi global dari pasar saham dan obligasi sehingga menekan nilai tukar rupiah menjadi 14.614 per dolar AS.
Pemerintah telah mengendurkan proyeksi rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga akhir tahun ini yang mencapai Rp 14.200. Angka ini meleset dari asumsi dalam APBN 2018 yang sebesar Rp 13.400 per dolar AS.
“Tahun 2018 kami perkirakan rata-rata Rp 14.000-Rp 14.200 sampai akhir tahun,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Faktanya, per 25 September lalu rupiah telah diperdagangkan di kisaran Rp14.900-an. Yield obligasi pun jelas juga akan ikut terdampak dan merambat naik. Dengan kondisi perdagangan global yang tak menentu akibat aksi perang dagang AS vs Cina, stabilitas nilai tukar dan tingkat yield obligasi negara menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar. Salah satunya adalah dengan mengendalikan secara ketat tingkat inflasi.
Sebuah kebijakan yang juga diakui punya lubang menganga, yang bisa dimanfaatkan para spekulan bahan pokok untuk memainkan harga. Sementara cara cepat untuk mengendalikan harga komoditas pokok itu adalah melalui aksi impor.
Kronologi Polemik
Lalu, bagaimana sebenarnya cerita polemik beras antara Dirut Bulog dan Mendag itu berasal? Penjelasan menarik datang dari Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, yang akhirnya harus buka suara merespons polemik impor beras. Dalam penjelasannya, Darmin merinci kronologi, mulai dari kondisi di lapangan hingga akhirnya diputuskan memberi izin Bulog mengimpor beras 2 juta ton.
Menurut Darmin, pada akhir 2017 harga beras mulai bergerak naik, dan rapat koordinasi (rakor) membahas lonjakan harga mulai dilakukan di Kantor Darmin, yang melibatkan Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Dirut Bulog, dan Menteri BUMN. Sebagaimana diketahui, pada November-Desember 2017 harga beras melonjak tajam, jenis medium Rp 9.450 per kg, naik menjadi Rp 11.300 per kg.
Selanjutnya diadakan rakor lagi pada 15 Januari 2018 untuk membahas lonjakan harga beras tersebut. Selain itu, dilakukan pengecekan ke gudang Bulog, ternyata stok tinggal 903 ribu ton, di bawah 1 juta ton, padahal konsumsi beras nasional mencapai 2,3-2,4 juta ton per bulan. Memang masih ada keyakinan dari kementerian yang bersangkutan bahwa pada Januari-Februari-Maret produksi beras akan 13,7 juta ton.
Alhasil rakor memutuskan impor beras 500.000 ton. Kebijakan ini diambil agar stok beras di gudang Bulog di atas 1 juta ton. Pemerintah juga menunggu hasil puncak panen raya padi pada Maret 2018.
Singkat cerita, pada 19 Maret 2018 diadakan rakor lagi dan informasi dari Bulog saat itu persediaan beras di gudang tinggal 590.000 ton, jauh dari batas aman stok beras nasional, yaitu 2 juta ton. Menurut Darmin, dengan kondisi tersebut artinya Bulog tidak mampu menyerap dari petani dan pasokan ke masyarakat akan terganggu. Pemerintah sempat memberi solusi mengatasi masalah penyerapan beras oleh Bulog dengan menaikkan harga pembelian gabah maupun beras.
“Pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga pembelian gabah maupun beras, dengan kenaikan yang biasanya 10 persen fleksibilitasnya menjadi 20 persen supaya bisa beli. Tetap saja stok 590 ribu ton,” tutur Darmin.
Mengacu pada kondisi itu akhirnya pada rakor 19 Maret diputuskan tambahan impor beras lagi 500.000 ton untuk mendongkrak stok Bulog. Langkah ini diambil karena masa puncak panen raya akan berakhir. Namun, sempat ada masalah pengiriman beras impor hasil keputusan rakor 15 Januari 2018. Beras yang seharusnya masuk pada Februari justru baru datang Maret. Di beberapa negara produsen beras baru masuk masa panen pada Maret, dan pembelian melalui proses tender.
Setelah beras impor masuk stok beras Bulog yang tadinya 590.000 ton naik menjadi 649.000 ton. Jumlah ini, menurut Darmin, sudah termasuk dengan pasokan beras dari dalam negeri. Karena stok beras Bulog naiknya tak signifikan, dalam rakor 28 Maret 2018 diputuskan tambahan impor beras 1 juta ton sehingga totalnya 2 juta ton beras yang harus masuk pada akhir Juli 2018. Dengan angka 2 juta ton itu artinya stok beras di gudang Bulog aman.
Faktanya, kata Darmin, dari 2 juta ton tersebut, sebanyak 200 ribu ton beras impor dari India tidak berhasil disepakati. Total impor beras 1,8 juta ton, dan 1,4 juta ton sudah masuk. Sisa 400.000 ton akan masuk secara bertahap.
Dengan keadaan seperti ini, Darmin pun mempertanyakan polemik yang terjadi di antara para koleganya tersebut. Dari putusan rakor 28 Maret 2018, setelah itu tak ada impor, lalu beras impor mana lagi yang diperdebatkan? Begitu kira-kira yang jadi pertanyaan Darmin.
Atas pernyataan Darmin ini, respon publik pun beragam. Sebagian mendukung agar polemik ini segera diakhiri dengan damai, sesuai penjelasan Darmin. Sebagian lainnya menginginkan agar polemik ini menjadi jalan untuk menyelesaikan kisruh perberasan nasional untuk selama-lamanya.
Jangan sampai rakyat menjadi korban perseteruan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari fluktuasi harga beras domestik maupun pihak yang mendapatkan keuntungan dari jasa impor beras. Bukan apa-apa, taruhannya akan sangat mahal bagi pemerintahan terkini. Apa lagi kalau bukan stabilitas sosial dan ekonomi yang bila guncang akan merusak stabilitas politik lebih parah lagi.